Corak dan tekstur kulit reptilia memang terlihat menawan kala diaplikasikan pada tas dan aksesori berbahan kulit. Namun, pelaku usaha yang menangani secara serius
exotic leather ini belum ada saat orang tua saya,
Rachmat dan
Flora Wiradinata, memulainya pada tahun 1990-an. Kalaupun ada, biasanya dijual secara
black market alias tanpa izin. Ayah melihat ini sebagai peluang, apalagi permintaan dari luar negeri untuk produk berbahan kulit eksotis sangat tinggi.

Foto: Dok. Raflo
Menjual produk binatang yang dilindungi tentunya tak bisa sembarangan. Harus ada izinnya sesuai ketentuan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Sejak awal usaha, untuk memenuhi ketentuan syarat dagang dan ekspor, merek
Raflo telah memiliki izin CITES, izin perdagangan internasional untuk spesies flora dan fauna langka, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) di bawah Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Departemen Kehutanan. Berikut kisah perjalanan bisnis tas kulit eksotis merek Raflo yang dituturkan oleh
Henry Martinus, (39) asal Jakarta.
Nama Raflo diambil dari gabungan nama orang tua kami. Ayah mewarisi usaha ini untuk dikelola oleh saya dan adik-adik,
Erika dan
Martin Wiradinata, sejak tahun 2001.
Awalnya, Ayah menjual bahan baku mentah berupa kulit buaya, biawak, dan ular piton ke Jepang. Ini merupakan tantangan tersendiri karena pembeli grosir di luar negeri biasanya hanya mau menerima kulit
grade 1-2, yakni kulit yang mulus tanpa cacat. Baru pada tahun 1992, Ayah membangun
workshop untuk mengolah sisa-sisa kulit
grade 3-4 yang tak bisa dijual ke pasar luar negeri. Produk-produk jadi yang kami hasilkan di antaranya
handbag, ikat pinggang,
clutch, sarung tangan motor, dan dompet.
Kami menjualnya lewat pameran, butik di Jakarta dan Bali, dan konsinyasi. Ada juga permintaan ekspor produk jadi dari Amerika Serikat, Italia, Korea Selatan, dan Timur Tengah. Kami juga menerima pesanan penjahitan
handbag dari Australia. Sejauh ini, produk untuk wanita lebih banyak, dengan proporsi 80:20.
Handbag menjadi produk andalan.
Selain bernilai estetika tinggi, produk kulit buaya juga harganya tak murah. Itu yang menjadikan produk ini sangat prestisius dan masuk dalam kategori barang mewah. Produk ini tidak murah karena proses pemeliharaan buaya dari bayi hingga siap dikuliti membutuhkan waktu 3 tahun. Kami memiliki penangkaran buaya sendiri di Cikande, Tangerang, Banten, dengan kapasitas 500 lembar kulit per bulannya. Penangkaran ini kami bangun tahun 1999 untuk memastikan menjaga ekosistem dan kapasitas produksi.
Menurut saya, pelaku usaha harus tetap memperhatikan pelestarian alam. Kami hanya memakai separuh buaya dari sekitar 3.500 ekor buaya yang ditangkar, sisanya kami jadikan sebagai indukan. Dalam sebulan, kami bisa membuat sekitar 300
handbag, 250 dompet, dan 500 aksesori, seperti ikat pinggang dan lain-lain.
Kami sadar bahwa kepuasan pelanggan harus diutamakan, apalagi barang yang kami jual pun memiliki harga tinggi. Tak heran kalau pelanggan akan lebih memperhatikan detail kualitas. Kami pun harus mengerjakannya sesempurna mungkin. Bahkan, kami memberikan
after sales service berupa
lifetime warranty untuk kerusakan, baik yang disebabkan kesalahan pabrik maupun pelanggan.
Dalam waktu 1-2 tahun pemakaian, kulit biasanya kehilangan kilapnya atau tanpa sengaja pembeli menumpahkan parfum dalam tas. Kami menjamin
service perbaikan atau pembersihan tas tanpa biaya apa pun.
Tip:
Niche market barang mewah sangatlah kecil. Jika mereka puas, biasanya mereka akan merekomendasikan kepada teman-temannya. Lagi pula, tak ada sistem pemasaran yang lebih efektif daripada referensi kerabat. Kami sadar, tanpa pelanggan, kami tak bisa sebesar ini.
(f)