Berkat ketekunannya, usaha batik yang berawal dari garasi rumah itu kini telah berhasil menjangkau hingga pasar mancanegara.
Lisa Kurniawaty Mihardja (37) pun menapaki kesuksesannya sebagai wanita wirausaha sekaligus ibu rumah tangga. Dua peran yang bisa ia lakoni dengan seimbang dan membuatnya menjadi wanita yang bahagia.
Big VisionMemiliki suami pengusaha tak lantas membuat Lisa berpangku tangan. Setelah menikah dengan
Suherman Mihardja dan tak menadaptkan lampu hijau untuk bekerja
kantoran, wanita yang akrab disapa Lisa ini memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. “Setelah menikah, saya memang langsung hamil dan memiliki anak, jadi suami tidak mengizinkan saya bekerja,” katanya.
Meski mengikuti keinginan suami dan menjadi ibu rumah tangga, Lisa merasa ada yang kurang dalam dirinya. “Jauh di lubuk hati saya tahu kalau saya tidak bekerja, saya tidak bahagia,” katanya. Pribadinya yang memang tak bisa diam dan senang berkreasi selalu saja menggelitik dirinya untuk kembali bekerja. Tapi, kini keluarga menjadi prioritas pertamanya. Jadi, jika bekerja sekalipun, Lisa ingin yang fleksibel waktunya. Ide untuk berwirausaha mulai bermain di kepalanya.
Sejak usia muda Lisa memang penggemar batik. Kala itu Lisa mengaku sering kali merasa kesulitan mencari busana batik yang cocok untuk wanita muda. Itulah sebabnya, ia senang mencari kain batik, lantas mengkreasikannya menjadi busana-busana cantik. Jalan bisnisnya terbuka lebar ketika ia bertemu dengan
Anita Asmaya Vanin, yang menjadi langganan Lisa untuk mendesain baju-baju batiknya.
Lisa melihat peluang bisnis untuk membuat kreasi batik yang cocok bagi wanita muda. Maka, pada tahun 2005, dengan modal awal Rp30 juta yang berasal dari tabungannya sendiri, Lisa bersama Anita dan partner bisnis lainnya membuka
workshop jahit di garasi rumahnya. Usaha rumahan ini pun dimulai hanya dengan dua buah mesin jahit dan dua penjahit. Bagi Lisa, memulai bisnis itu sebaiknya dimulai dari yang kecil, seperti filosofi hidupnya, '
always have big vision but try to start it small'.
Memulai usaha dengan modal dan tenaga kerja yang terbatas bisa dipastikan tak bisa hanya duduk-duduk santai, ia harus turun tangan mengerjakan semua hal, mulai dari produksi hingga pemasarannya. "Di awal usaha, saya sendiri yang mengantar barang-barang produksi ke toko. Saat itu anak-anak masih kecil, jadi harus tinggal di rumah, sementara saya mengantar barang,” kata wanita yang sempat merahasiakan bisnis ini dari sang suami.
Tapi sekali melangkah, pantang bagi Lisa untuk berhenti di tengah jalan. Meski menghadapi banyak tantangan, wanita ini tetap yakin batik buatannya yang diberi label Allure itu dapat diterima di pasar. Apalagi, batik Allure punya konsep yang berbeda dari batik pada umumnya. "Batik produksi kami terlihat unik, berkat ciri jhas teknik warna dan gradasi serta desain yang kontemporer," jelasnya.
Keunikan batik Allure berhasil membuat banyak mata melirik kagum. Lisa mempromosikannya dengan selalu memakai batiknya di tiap acara. "Dari saya pakai sendiri, orang-orang jadi banyak yang lihat dan bertanya. Mereka tertarik untuk membeli karena modelnya yang berbeda. Promosi pun dilakukan dari mulut ke mulut," katanya, yang akhirnya mendapat dukungan dari suami untuk menjalankan bisnisnya ini.
Terbukti, usaha Lisa mengembangkan Allure pada pasar kelas menengah atas cukup berhasil. permintaan akan batik Allure meningkat, meski harga batik ini lumayan tinggi, antara Rp400.000 hingga Rp3,5 juta. Dari satu butik di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, ia mulai melebarkan jangkauannya dengan membuka
outlet di mal-mal besar. "Saya ingin membuktikan bahwa batik juga bisa dijual dengan harga yang cukup tinggi, asal kualitasnya terbaik dan desainnya menarik," katanya. Tahun 2010, sebagai langkah untuk memasuki pasar Internasional,
brand Allure berganti nama menjadi Alleira.
Satu hal yang diyakini Lisa sebagai pebisnis adalah selalu punya visi yang besar. Dengan visi besar ini ia mengembangkan Alleira, meski ada kritik tajam tentang desain batiknya yang berbeda dari batik pada umumnya. "Sempat ada yang mengakui kreasi Alleira sebagai batik. Mungkin dari warna kami lebih
colorful, namun akem batik tetap kami pertahankan dengan menerapkan teknik batik tulis yang dikerjakan denga malam dan canting," jelas wanita yang menganggap kritik sebagai cambuk untuk terus memberikan kreasi terbaiknya.
Belum lagi ketika banyak tiruan batik Alleira, yang muncul di pasaran. Meski begitu, Lisa tak ambil pusing, ia bahkan melihatnya sebagai tantangan untuk membuat lebih banyak lagi desain sehingga makin sulit untuk ditiru. "Dengan membuat desain yang eksklusif dengan kualitas bahan yang terbaik, orang pasti akan tertarik dan mencari. Produk kami pun semuanya
handmade sehingga sangat memperhatikan detail dan butuh pengerjaan yang cukup lama, "ucapnya. Ia pun melihat semua tantangan yang ia hadapi selama mengembangkan Alleira sebagai pembelajaran yang menempanya menjadi seorang business women.
Kuncinya, NegosiasiDi tangannya batik naik kelas, dari kain tradisional menjadi barang
fashion yang mampu bersaing di atas panggung
catwalk. "Saya percaya batik punya potensi besar untuk menembus pasar internasional," katanya.
Ia juga bekrja sama dengan beberapa
public figure, seperti
Annisa Pohan, yang didaulat menjadi
brand ambassador Alleira. Ia juga mengajak beberapa istri duta besar negara sahabat untuk menjadi model di pergelaran busana Alleira. "Alleira sempat pula membuatkan
dress untuk miss universe Singapore, juga pimpinan ASEAN Summit 2010," katanya.
Diakui Lisa, keberhasilannya di dunia bisnis tak lepas dari dukungan suami. Memiliki suami yang pengertian dan mau berbagi tugas menjadi kunci suksesnya menjalankan dua peran sekaligus. "Buat kami, anak-anak nomor satu. Ketika saya tak bisa berada di dekat anak-anak, karena ada
meeting misalnya, suami yang akan menemani mereka. Begitu sebaliknya, saya harus di rumah ketika suami sedang tidak ada," jelasnya.
Meski begitu, sempat pula ia mendapat protes dari anak-anaknya yang merasa ibu mereka terlalu sibuk. Apalagi awalnya di awal dia mengembangkan bisnis ini, waktunya banyak yang tersita untuk bekerja. "Saya terima protes anak-anak. Tapi, saya beri mereka pengertian, dengan bekerja dan berada di rumah bersama mereka dan ayahnya, saya menjadi lebih bahagia dan menikmati hidup," katanya tersenyum.
Memang bukan hal mudah, tapi ia buktikan dengan selalu ada tiap kali anak-anak membutuhkannya. Kuncinya adalah belajar menyeimbangkan keduanya dengan cara bernegosiasi dengan prioritas hidupnya. "Prioritas utama saya keluarga. Prioritas selanjutnya adlah bisnis. Di antara keduanya saya harus bisa bernegosiasi. Misalnya, sudah janji
nonton pertunjukan anak-anak di sekolah mereka, maka saya harus menepatinya dengan tidak membuat janji di hari tersebut. Kalau tidak bisa, ya, saya harus katakan katakan sejak awal. Jangan sampai membuat mereka kecewa dengan hanya memberikan janji," jelas wanita yang selalu tiba di rumah pukul enak sore agar punya lebih banyak waktu dengan keluarga.
Kini anak-anaknya sangat mendukung bisnisnya. Bahkan, kedua anak perempuannya,
Tiffany Miharja (11) dan
Carys Miharja (9), sangat tertarik pada batik. Di luar kesibukan sekolah, keduanya kerap menjadi model untuk peragaan busana Alleira untuk koleksi anak-anak. Selain mengurus Alleira yang telah memiliki 42 butik di seluruk Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, Lisa juga disibukan dengan 5
brand fashion lainnya yang kini tengah ia kemabangkan,
FAUNDA LISWIJAYANTI