
Perhiasan sebagai bentuk ekspresi diri yang sangat individual itu sudah lama disadari orang, terutama para wanita. Kini seiring dengan arus besar di kalangan urban yang kembali mencintai budaya negeri sendiri, mengenakan replika perhiasan etnik Indonesia sebagai fashion statement dalam berbusana sehari-hari bukan lagi hal aneh. Di sini harus diakui ada peran
Manjusha Nusantara, yang boleh dibilang menjadi pihak pertama yang membuat trend ini bisa terjadi.
Konsep Yang KuatSemua itu bermula dari pertemanan para pemilik Manjusha Nusantara,
Terry Wijaya Supit,
Yasmin Wirjawan dan
Ria Glenn. Selain sama-sama suka ngopi, tiga wanita ini adalah penggemar aksesori etnik Indonesia. “Daripada setiap ketemuan hanya ngopi, kami ingin membuat sesuatu yang berguna dan berkontribusi untuk masyarakat. Maka tercetusnya untuk membuat bisnis ini,” ujar Yasmin.
Apa yang membuat mereka jatuh cinta pada aksesori etnik? “Selain bentuknya yang memang bagus, setiap bentuk perhiasan memiliki makna filosofis,” ujar Ria. Namun sayang, perhiasan tradisional Indonesia yang asli itu harganya mahal banget.
Ketika itu, di tahun 2011, bisa dikatakan belum ada pihak yang memiliki konsep seperti konsep mereka: replika (bentuk tiruan) perhiasan etnik Indonesia yang bisa dikenakan sehari-hari dengan harga terjangkau. Kalaupun ada perhiasan etnik khas Nusantara di pasaran, kebanyakan adalah perhiasan kuno yang tentu saja harganya super mahal. Di sisi lain, ada juga perhiasan-perhiasan dengan ala panggung pertunjukkan, yang biasa dipakai para penari atau pengantin adat yang kualitasnya bisa dipastikan kurang memadai.
Untuk nama pun tidak asal pilih. Manjusha diambil dari bahasa Sanskrit yang artinya kotak perhiasan. Dengan ditambah Nusantara di belakanganya, maka artinya adalah sekotak perhiasan khas Nusantara. Dalam nama itu terkandung visi misi ketiga wanita ini, yaitu agar kian banyak wanita yang mengetahui, mencintai dan mengenakan perhiasan-perhiasan khas Nusantara.
Target market juga ditetapkan sejak awal, yaitu kalangan menengah ke atas. Mengapa? “Karena kalau kalangan atas yang memakai, maka kalangan di bawahnya akan lebih mudah untuk mengikuti. Dengan demikian maka visi kita untuk memasyaraktkan perhiasan etnik ini bisa tercapai,” terang Terry.
Langkah selanjutnya adalah mematangkan konsep tersebut dengan melakukan berbagai riset. Terry yang seorang entrepreneur dan berlatar belakang pendidikan di bidang arkeologi yang bertanggung jawab di bagian produksi. Sebagai tahap awal, ia pun melakukan dokumentasi mengenai ragam hias khas Indonesia. “Kebetulan saya memang sudah sejak lama punya hobi mengumpulkan perhiasan kuno. Namun, tetap saja saya perlu melalukan riset yang mendalam,” ujar Terry yang kemudian menuliskan buku dokumentasi perhiasan Nusantara berjudul Kisah Perhiasan Nusantara.
Dari museum ke museum (dari museum di berbagai provinsi hingga pameran di museum di Rotterdam, Belanda), membolak-balik berbagi literature dan foto-foto kuno, pergi ke anjungan di Taman Mini Indonesia Indah pernah mereka lakoni. “Tahu nggak, di Rotterdam saya melihat banyak sekali perhiasan kuno Nusantara asli yang terbuat dari emas murni tidak ada di sini,” ujar Terry.
Semua produk Manjusha dikerjakan secara handmade oleh perajin-perajin yang tersebar di Padang, Palembang, Solo, Jogjakarta dan Bali. Secara umum, perhiasan terbuat dari tembaga yang kemudian disepuh dengan perak atau emas 24 karat. Mereka sengaja memilih emas murni dengan pemikiran bahwa perhiasan yang hendak digunakan sehari-hari itu harus tetap awet cantik, sehingga kalaupun terkena oksidasi maka warnaya tidak akan menjadi hitam, melainkan hanya akan menjadi tua. Bukan hanya menjaga kualitas barang, after-sales service pun juga diberlakukan untuk perbaikan bila ada kerusakan-kerusakan.
Ketika akhirnya barang sudah diproduksi dan siap diperkenalkan ke publik pada April 2011, meski konsep sudah matang, bukan berarti tidak ada rasa was-was. Tetap saja, ketiganya sempat terserang panas-dingin. Karena mereka tahu, mereka akan menghadapi pasar yang masih awam dengan konsep yang mereka usung, meski pada saat yang bersamaan tengah terjadi booming wastra-wastra Indonesia seperti batik, tenun dan songket.
“Pertama kali kami ikut sebuah pameran, meski takut-takut, ternyata hasilnya ok juga,” ujar Ria tertawa. Memang, pada waktu itu, mereka harus banyak menyakinkan konsumen bahwa membeli produk Manjusha Nusantara yang dihargai antara Rp350 ribu hingga Rp7 juta (untuk satu set perhiasan perak asli) itu tidak sekedar membeli perhiasan. “Pada prinsipnya kami tidak hanya sekedar menjual perhiasan, tapi kami juga menjual makna. Filosofi dan cerita apa yang terkandung dalam setiap piece perhiasan etnik Indonesia itu yang ingin kami share kepada banyak orang,” tambah Yasmin.
(Yoseptin Pratiwi)