Donat kentang kadang masih sering dianggap donat ‘kelas dua’. Tapi dengan cara pembuatan, pengemasan, dan pemasaran yang unik, donat ini laris manis diserbu pembeli.
Sekurangnya itu yang dialami tiga pemilik bisnis donat kentang. Anita, pemilik Donutboyz mengungkapkan, ia punya resep andalan untuk produk donatnya. “Perbandingan adonan antara kentang dan terigu 70% dan 30%.” Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 25 kg kentang. Sementara Lina, yang memakai merek Donut Lina’s, memadukan 75% kentang dan 25% terigu. Ia bahkan sudah menyimpan kentang sejumlah 1,5 kuintal untuk produksi sebulan, yang didatangkan langsung dari daerah Dieng.
Bagaimana dengan Yummy Donuts, yang dimiliki Nency Sinatra? “Wah, maaf, ya, campuran adonannya masih rahasia perusahaan,” Nency tertawa. Tapi, Nency bercerita, ia menggunakan bahan-bahan dasar berkualitas baik. Misalnya, untuk taburan donat, ia tak memakai gula halus biasa, melainkan gula bercita rasa mint yang segar dan dingin di lidah. Pelanggan boleh memilih, gula itu akan dicampur atau ditempatkan di plastik terpisah. Susu pun tak sembarangan. Ia memilih yang agak mahal, agar rasa donatnya lebih enak.
Selanjutnya, ia menciptakan berbagai variasi rasa. Selain donat polos (donat biasa plus gula halus), ia menjual donat berisi 3 rasa selai, yaitu cokelat, stroberi, dan blueberry. Tapi, variasi ini tidak jual di gerainya di ITC Kuningan, karena tempatnya sangat kecil. Harga donat isi berbeda dari donat polos, yaitu Rp2.500. Selain itu, ia membuat donat polos mini, seharga Rp1.000 per buah.
Lina tak mau ketinggalan dalam urusan topping. Terinspirasi dari donat-donat mewah yang ada di mal, ia menciptakan sejumlah variasi topping. Misalnya, dalam satu donat, ia memadukan dua topping, yaitu kacang dan keju, abon dan keju, serta cokelat dan keju. Penampilannya terlihat cantik. Variasi nama-nama donatnya pun cukup unik, misalnya zebra strawberry, durian mutiara, dan cheese me up. Sebelum melempar hasil inovasinya ini ke pasar, ia meminta bantuan para tetangga untuk icip-icip dan memberi masukan. Sekarang ia sudah mengembangkan 20 variasi dengan harga Rp3.000. Tapi, donat yang polos masih tetap ia jual seharga Rp2.500. Saat mengirimkan donatnya kepada pelanggan, ia mengemas donat itu satu per satu dengan bungkus plastik yang sudah disablon dengan logo, lalu menyusunnya dalam kotak.
Demikian juga yang dilakukan Anita. Kini ia sudah memiliki 55 variasi topping, antara lain keju, abon, cokelat dengan strawberry di tengahnya, serta almond. Hampir setiap bulan ia mencoba membuat suatu terobosan baru. Misalnya, selain ada donat yang tak bolong di tengah, ia menciptakan bentuk donat bergerigi dan bentuk tokoh kartun anak, seperti Sponge Bob.
“Topping ini tidak dikerjakan oleh ibu mertua. Saya memiliki beberapa pegawai yang masih muda untuk mengerjakannya, sekaligus untuk menyumbangkan ide,” kata Anita, yang juga berprofesi sebagai notaris. Harga donat yang dijualnya antara Rp3.000–Rp5.000. Meski banyak variasi yang ditawarkan, Anita melihat bahwa donat yang original --donat polos dengan taburan gula halus-- justru masih menjadi favorit pelanggan.
Mengembangkan Sayap
Meski cuma punya satu booth, pernah ada seorang konsultan bisnis yang memberi saran agar Anita membuka franchise. “Saya melihat, banyak bisnis serupa yang sudah lebih dulu menjadi franchise, misalnya hotdog dan burger. Karena itu, kami pun pede mengembangkan bisnis ini menjadi franchise sejak pertengahan 2005. Lalu, saya ikut pameran franchise di Yogya, memasang iklan di majalah franchise dan di sebuah tabloid bisnis,” katanya, berbagi pengalaman.
Seiring dengan hal itu, Anita terus menambah jumlah outlet-nya (kini mencapai 8 buah, semua di Solo). Konsep penjualannya ikut bervariasi. Tak hanya booth, tetapi juga menjadi mobil toko, kafe, dan bakery shop. Masing-masing membuahkan jumlah omzet berbeda. Secara total, rata-rata omzet per hari sekitar Rp5 juta, dengan menjual sekitar 1.300 donat. Saat ini omzet terbesar datang dari bakery shop. Karena itu, ia mengarahkan para franchisee (pembeli franchise) untuk menerapkan konsep itu.
Sistem franchise-nya ada dua. Pertama, sub-area franchise. Misalnya, seorang pengusaha dari Yogya membeli franchise Donutboyz. Artinya, dialah pemegang franchise untuk seluruh gerai di Yogya. Kalau ada orang lain di kota itu yang tertarik, dia harus membelinya dari pemegang pertama. Biaya pembelian franchise itu Rp350 juta. Kedua, franchise bakery shop, yang dibagi lagi menjadi dua, yaitu dengan peralatan sederhana (Rp160 juta) dan dengan dapur modern (Rp249 juta). Sekarang ini sudah ada 121 gerai Donutboyz di 14 kota di Indonesia, seperti Jakarta, Denpasar, dan Medan.
Nency pun tak puas hanya punya satu gerai. Ia membuka beberapa gerai lagi di Jakarta, yaitu di Pasar Festival, Mal Klender, dan Corner Tebet Utara (CTU). Sistem franchise juga ia kembangkan. Klien pertamanya adalah kakaknya sendiri, yang membuka 2 gerai franchise di Yogya. Harga franchise adalah Rp10 juta, sudah termasuk booth, training, seragam, perlengkapan, dan kemasan kotak. Ia juga mengenakan fee 5% dari omzet bulanan franchisee.
Sebelum meluluskan permintaan franchise, Nency harus memastikan bahwa lokasinya bagus. “Lokasinya harus benar-benar dilewati orang banyak. Sebaiknya, tidak di dekat rumah makan atau food court. Karena, setelah makan kenyang, pengunjung biasanya tidak ngemil,” kata Nency, berbagi tip.
Sedangkan Lina mengembangkan usahanya dengan mengerahkan tenaga sales untuk menyebarkan brosur. Ia juga membuat website khusus. Website itu memuat informasi tentang variasi produk Donut Lina’s, termasuk harga dan foto-foto produk yang menarik. Di rumahnya memang tidak ada papan nama, namun ia menempelkan brosur di depan rumahnya, agar bisa dilihat oleh orang yang lewat. Dalam sehari, ia bisa membuat donat antara 250–500 buah, untuk dibawa tenaga sales. Dari pesanan dan penjualan langsung itu, ia bisa mendapat omzet rata-rata per bulan Rp9 juta–Rp10 juta. (VW)